Rabu, 13 Januari 2010

MISKONSEPSI DAN MISAPLIKASI PEMBELAJARAN AKTIF KREATIF EFEKTIF DAN MENYENANGKAN

Tulisan ini telah dimuat di Tabloid Aksara, Edisi Januari, Febuari, dan Maret 2009

Learning is not a spectator sport. Students do not learn much just by sitting in class, listening to teachers, memorizing prepackaged assignments, and spitting out answers. They must talk about what they are learning, write about it, relate it to past experiences, apply it to their daily lives. They must make what they learn part of themselves. Arthur W. Chickering & Zelda F. Gamson dalam “Seven Principles for Good Practice,” AAHE Bulletin 39: 3-7, March 1987

Pada saat ini hampir semua guru memahami pembelajaran seperti yang diungkapkan oleh Arthur dan Zelda di atas. Para guru memahami bahwa siswa tidak lagi diharuskan duduk manis di kelas, mendengarkan guru bercerita, dan menghapalkan sepaket hapalan untuk dijawab kembali ketika gurunya menanyakannya. Ini semua karena guru telah memahami bahwa belajar tidak lagi didefinisikan sebagai proses perubahan tingkah laku yang dilakukan oleh pengajar kepada pembelajar, karena stimulus-stimulus yang diberikan pengajar.

Pada saat ini belajar didefinisikan sebagai interaksi yang saling menguntungkan antara pengajar dan pembelajar dalam membangun pengetahuan. Oleh sebab itu, menurut pandangan ini Proses Belajar Mengajar (PBM) senantiasa melibatkan tiga unsur yaitu pembelajar, pengajar, dan materi subyek. Interaksi yang terjadi pada ketiga unsur PBM adalah ketergantungan yang saling menguntungkan dalam rangka mengkontruksi pengetahuan. Materi subyek merupakan rujukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan. Pengajar merujuknya untuk mengorganisasi dan mempresentasi pelajaran. Pembelajar merujuknya untuk memahami dan mengembangkan strategi belajar tertentu. Interaksi antara ketiga unsur digambarkan dalam model trilogue PBM seperti Gambar di bawah ini.




Mekanisme interaksi dimulai ketika pengajar sebagai narasumber memulai proses belajar mengajar dengan menginformasikan (informing), mengembangkan (elicting), dan mengarahkan (directing). Peran ini sejalan dengan upaya memudahkan pembelajar untuk mengakses materi subyek agar dipahami sebagai pengetahuan deklaratif (intelligible), dipahami sebagai pengetahuan prosedural (plausible), dan dipahami sebagai keterampilan intelektual (fruitfull) (Siregar, 1999). Akses terhadap materi subyek sejalan dengan kompleksitas yang dikandung materi subyek, yaitu sebagai konten, substansial, dan sintaktikal. Konten berfungsi sebagai unit dasar pengetahuan. Substansial berfungsi sebagai bangunan dari pengetahuan. Sintaktikal adalah keterampilan intelektual, yang berperan dalam membangun pengetahuan menggunakan hukum, aturan, teori, dan lain-lain untuk menjamin agar bangunan yang dihasilkan mempunyai dasar dan menjamin bangunan tersebut tidak terbantahkan.

Perubahan definisi belajar seperti diuraikan di atas, tidak lepas dari perubahan paradigma pembelajaran. Dahulu paradigma pembelajaran banyak dipengaruhi oleh pendapat Plato, John Locke, dan aliran behaviorisme. Pada saat ini, aliran konstruktivisme lebih banyak mempengaruhi paradigma pembelajaraan. Jika pada tahun 1980-1990, banyak pakar pendidikan yang masih sungkan menerima paradigma konstruktivisme, tetapi pada saat ini para pakar pendidikan sudah latah mengadopsi paradigma ini. Fenomena seperti ini oleh Thomas Khun disebut sebagai revolusi. Revolusi ini ditandai dengan runtuhnya paradigma lama berganti menjadi paradigma baru.

Konstrutivisme berawal dari aliran kognitifisme, oleh karena itu sering juga disebut konstruktivisme kognitif. Aliran inilah yang pertama kali menyatakan bahwa siswa (anak) adalah mahluk aktif, ia dapat mengkonstruk sendiri pengetahuan dari informasi-informasi yang didapatkannya atau dari pengalamannya. Salah satu pencetus dari aliran ini adalah Piaget, yang terkenal dengan teorinya bahwa konstruksi pengetahuan yang dilakukan oleh anak melalui fase perkembangan kognif. Fase perkembangan kognitif anak oleh Piaget dibagi menjadi empat, yaitu sensori motorik (0-2 tahun), pra operasional konkrit (3-6 tahun), operasional konkrit (7-12 tahun), dan operasional formal (> 12 tahun). Siswa usia sekolah dasar menurut Piaget berada pada fase operasional konkrit.

Konstruktivisme kemudian berkembang menjadi konstruktivisme sosial yang dimotori oleh Vygosky, dan konstruktivisme emosional yang dimotori oleh Kohlberg. Pengusung konstruktivisme kognitif pun bertebaran, diantaranya Ausable, dan Bruner.

Melalui paradigma konstruktivisme inilah lahir beragam model, strategi, dan pendekatan dalam pembelajaran seperti contextual learning (CTL), problem base learning (PBL), inquiry, active learning, cooperative learning, mathematics realistic, integrated learning, science, technology, and society, dan lain-lain. Semua model, strategi, dan pendekatan yang berbasis student center.

Pembelajaran berbasis student center, masuk ke Indonesia pada tahun 80-an dikenal dengan cara belajar siswa aktif (CBSA) atau diistilahkan active learning. Tetapi kemudian CBSA ini mengalami banyak penolakan, bahkan menteri pendidikan nasional saait itu Fuad Hasan gusar bukan main ketika melihat penerapan CBSA dalam beberapa kunjungannya ke sekolah-sekolah, waktu itu Pak Fuad sendiri bilang, “Loh, kok kelas seperti pasar”. Prof. Dr. Ki Supriyoko, tokoh pendidikan Perguruan Taman Siswa Jogjakarta memelesetkan CBSA menjadi cah bodo sangsaya akeh (anak bodoh semakin banyak). Maka pada saat Djauzak Ahmad menjadi Direktur Pendidikan Dasar pada tahun 1991, beliau mengirim surat pada menteri pendidikan Fuad Hasan untuk menghentikan pelaksanaan CBSA.

Pada tahun 2004 melalui program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) diperkenalkan Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan (PAKEM). Bahkan melalui PP.19/2005 SNP Pasal 19 yang berbunyi “Proses pembelajaran: interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi untuk aktif, kreatif, mandiri sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik dan psikologis peserta didik“, PAKEM makin diperkuat keberadaan dan keharusannya untuk diterapakan guru.

PAKEM sendiri sebenarnya mempunyai ruh yang sama dengan CBSA yaitu pembelajaran aktif. Conny Semiawan sebagai pelopor CBSA pernah mengatakan bahwa ketidakberhasilan CBSA disebabkan oleh kurangnya pemaham guru-guru mengenai filosofi CBSA. Meski pun sudah ditatar, tapi para guru umumnya hanya memahami kulitnya. Siswa hanya diajar mengenal dan memahami, dan kurang diajar melaksanakan, menganalisis, dan mengevaluasi. Padahal. Inilah lapisan tertinggi berpikir yang dicoba dicapai lewat CBSA. Apakah nasib PAKEM akan seironis CBSA? Boleh jadi, jika terjadi lagi miskonspesi tentang pembelajaran aktif (active learning) atau pada PAKEM itu sendiri.

Miskonsepsi PAKEM

Pada kunjungan penulis ke sebuah sekolah terpadu di Kota Bogor, suasana ribut tampak di beberapa kelas, guru yang mengantarkan saya mengatakan, “Beginilah Bu, kelas-kelas disini selalu ribut dan ramai, karena kami menerapkan PAKEM”. Saya mencoba mengintip beberapa kelas, tampaklah suasana kelas gaduh dan tak teratur, ada banyak aktifitas yang dikerjakan anak di kelas, aneka game pun dilakukan oleh anak, ketika guru memberikan pertanyaan, siswa menjawab bahkan tak segan mendebat guru dengan cara berteriak-teriak. Saya mencoba bertanya pada guru apa yang mereka pahami dengan pembelajaran aktif, berikut ini adalah beberapa jawabnnya:

  • Pembelajaran yang melibatkan siswa dalam kelompok
  • Pembelajaran yang tidak diberikan dengan metode ceramah
  • Pembelajaran yang disajikan lewat permainan/game yang menyenangkan
  • Siswa aktif guru hanya sebagai fasilitator

Ketika saya tanyakan pada para guru hal apa yang menjadi fokus untuk diaktifkan dalam pembelajaran aktif? Maka jawaban para guru pun bermacam-macam. Umumnya guru memfokuskan pembelajaran aktif pada aktifitas fisik yang bisa dilihat seperti berkelompok, tidak ceramah, menyajikan permainan, dan siswa tampak aktif, bahkan ada ungkapan yang penting siswa senang (joyfull).

Inilah yang disebut dengan miskonsepsi PAKEM yang berdampak pada misaplikasi PAKEM. Kelas yang ribut pun jadi indikator bahwa kelas sedang menerapkan PAKEM. Padahal esensi dari PAKEM bukan hanya kegiatan-kegiatan yang bersifat menyenangkan dengan memberikan berbagai macam game. PAKEM bukan hanya pembelajaran kelompok. PAKEM bukan masalah metode ceramah yang lebih jelek dari metode eksperimen. PAKEM juga bukan hanya memberikan serangkaian tugas mandiri pada siswa.

Hakekat PAKEM adalah bagaimana pengajar dapat mengaktifkan pengetahuan awal siswa, mengelaborasi pengetahuan tersebut, dan otak siswa pun akif mengkonstruksi pengetahuan. Jadi hakikat dari PAKEM adalah bagaimana otak siswa diaktifkan untuk membangun pengetahuan baik dengan metode ceramah, eksperimen, kooperatif, dan metode lainnya. Jadi ciri khas dari PAKEM adalah pengaktifan otak siswa melalui tiga langkah kegiatan, yaitu:

  1. Mengaktifkan pengetahuan lama
  2. Mengelaborasi pengetahuan lama menjadi baru
  3. Mengkonstruksi pengetahuan baru

Tiga tahap kegiatan inilah yang akan menghantarkan siswa tidak hanya mengenal dan memahami, tetapi mampu melaksanakan, menganalisis, dan mengevaluasi. Tiga hal inilah lapisan tertinggi berpikir yang bisa dicapai lewat tiga langkah kegiatan pengaktifan otak siswa.

Tiga langkah kegiatan itu pulalah yang merupakan filosofi dari pembelajaran aktif. Tiga langkah ini seiring dengan arahan guru dalam informing, eliciting, dan directing dan sejalan dengan apa yang diperoleh siswa yaitu intelligible, plausible, dan fruitfull. Jika setiap guru memahami tiga langkah tersebut, niscaya tidak akan terjadi lagi misaplikasi pembelajaran aktif.

Contoh aplikasi PAKEM dalam mata pelajaran sains

Contoh pembelajaran sains di kelas empat, topik “Bagian Tubuh Tumbuhan” di bawah ini, dapat menjadi gambaran bagi para guru dalam menerapkan PAKEM berdasarkan filosofi pembelajaran aktif. Contoh tiap langkahnya adalah sebagai berikut:

Mengaktifkan pengetahuan siswa: siswa diwajibkan membawa tanaman yang sehari-hari biasa dimasak ibunya, yang akar batang dan daunnya masih lengkap. Tanaman tersebut adalah daun bawang dan bayam. Siswa kemudian menggambar tanaman daun bawang dan bayam, dan mendeskripsikan bentuk akar, batang, dan daun masing-masing tanaman.

Pada tahap ini siswa diminta mengingat-ingat kembali bentuk akar dan daun yang pernah dipelajarinya di kelas dua. Pada pelajaran kelas dua mereka telah belajar istilah akar serabut, akar tunggang, tulang daun menyirip, dan tulang daun sejajar. Pada tahap ini informing yang dilakukan guru akan menghantarkan anak pada sebuah pengetahuan yang bersifat dekalaratif yang pernah mereka peroleh tentang bentuk akar yang menyirip dan serabut; bertulang daun menyirip dan sejajar, ber “vein” bercabang, serta bentuk daun seperti pita. Kognitif siswa dengan kegiatan informing di tlangkah pengaktifan pengetahuan awal memasuki tahap intelligible, yaitu mengenal dan mengingat kembali pengetahuan tersebut.

Mengelaborasi pengetahuan lama menjadi baru: Siswa secara berkelompok mengumpulkan 10 tanaman liar yang terdapat di sekitar sekolah. Kemudian dikelompokkan kesepuluh tanaman yang mereka temukan menjadi kelompok tanaman bayam dan daun bawang. Jika ciri-ciri yang mereka temukan dari sisi bentuk akar (serabut) dan bentuk daun (tulang daun menyirip dan ber”vein” bercabang), maka mereka memasukkan ke kelompok seperti tanaman bayam. Jika mereka menemukan tanaman yang berakar serabut, bertulang daun sejajar, dan daunnya berbentuk pita, maka mereka memasukkan ke kelompok seperti daun bawang.

Pada tahap ini eliciting yang dilakukan guru akan menghantarkan anak pada sebuah pengetahuan yang berkembang, yaitu ada dua jenis kelompok tanaman yang diistilahkan dengan dikotil dan monokotil. Dikotil seperti tanaman bayam berakar tunggang, tulang daunnya menyirip, serta “vein”nya bercabang. Monokotil seperti tanaman daun bawang berakar serabut, bertulang daun sejajar, serta daun berbentuk seperti pita. Siswa pun mengetahui sebuah prosedur (plausible), jika daun berbentuk pita dan bertulang daun sejajar tidak menonjol mempunyai akar serabut (seperti bawang daun), maka digolongkan pada monokotil. Sedangkan, jika daun yang bentuknya tidak seperti pita dengan tulang daun yang menonjol dan bercabang-cabang mempunyai akar tunggang, maka digolongkan pada dikotil.

Mengkonstruksi pengetahuan baru: Siswa menemukan kesimpulan hubungan bentuk daun dan akar. Dari kesimpulan ini pada akhirnya siswa dapat memperkitakan bentuk akar suatu tanaman dengan memperkirakan bentuk daunnya. Untuk menguji pemahaman siswa dalam menyimpulkan, maka siswa diajak jalan-jalan ke sekitar sekolah, melihat tanaman-tanaman yang ditanam di rumah-rumah dekat sekolah. Guru menunjuk sepuluh tanaman dan siswa memperkirakan bagaimana bentuk akarnya. Tindakan guru yang bersifat directing (mengarahkan) seperti ini dilakukan setelah siswa mencapai tahapan plausible. Dari kegiatan directing guru, kognitif siswa pun mengalami fase fruitfull.

Tiga langkah pembelajaran di atas pun memuat keterampilan proses sains. Ada tujuh keterampilan proses sains yang didapatkan oleh siswa dengan tiga langkah pembelajaran di atas, yaitu:

  1. Observasi: mengamati bentuk daun dan akar tanaman
  2. Bertanya: Apakah bentuk tulang daun menyirip dan ber”vein” bercabang-cabang selalu mempunyai akar tunggang? Apakah bentuk daun seperti pita dan tulang daun sejajar selalu mempunyai akar serabut?
  3. Eksplorasi/testing: siswa mencari beragam tanaman liar dan membuktikan hipotesanya: Apakah benar bentuk tulang daun menyirip dan ber”vein” bercabang-cabang selalu mempunyai akar tunggang? Apakah benar bentuk daun seperti pita dan tulang daun sejajar selalu mempunyai akar serabut?
  4. Mengelompokkan: siswa mengelompokkan tanaman liar di sekitar sekolah ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok bayam (dikotil) dan daun bawang (monokotil)
  5. Menyimpulkan: siswa menyimpulkan bahwa tumbuhan bertulang daun menyirip dan punya “vein” bercabang-cabang akan memiliki akar tunggang, dan berdaun seperti pita atau bertulang daun sejajar akan memiliki akar serabut.
  6. Memprediksi/inferensi: Ketika siswa menemukan sebuah daun, maka ia bisa memperkirakan bentuk akarnya.
  7. Melaporkan dan mengkomunikasikan apa yang sudah ditemukan siswa pada siswa lainnya dan guru.

Pada contoh pembelajaran di atas tampak secara filosofi, epistimologi, dan aksiologi pembelajaran aktif telah mampu diejawantahkan dengan baik. Pada contoh pembelajaran sains di atas pun tampak bahwa hal yang paling dominan dalam pembelajaran aktif bukan fisiknya yang aktif tetapi otak dan keterampilannya lah yang aktif. Oleh karena itu aksiologi dari pembelajaran aktif adalah mengaktifkan minds on (otak) dan hands on (keterampilan). Indikator kelas yang bersifat PAKEM pun tidak lagi dilihat dari sisi berkelompok, menyenangkan (joyfull), dan keributan/kegaduhan akibat guru memberikan game/permainan tetapi haruslah dilihat dari sisi minds on and hands on activity.

Tidak ada komentar: