Rabu, 06 Januari 2010

PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN DASAR MELALUI PAKEM

PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN DASAR MELALUI PAKEM



A. Pendahuluan
Sejak tiga tahun terakhir bangsa kita terus dilanda musibah, baik yang disebabkan oleh faktor alam yang memang kejadiannya sulit dicegah maupun oleh karena ulah manusia yang seharusnya tidak perlu terjadi. Musibah gempa tektonik yang disusul tsunami di Aceh belum juga pulih, sudah di susul oleh gempa dan tsunami lain di Yogyakarta dan Pangandaran. Musibah lumpur Lapindo di Sidoarjo sudah hampir satu tahun belum ada tanda-tanda berhenti, bahkan kalau tidak dapat diatasi dan menunggu berhenti sendiri akan memakan waktu 31 tahun. Musibah dalam bidang transportasi terjadi di laut, darat, dan udara. Permasalahan lain yang selalu terulang pada hampir setiap tahun adalah masyarakat kita selalu kekeringan dan tidak ada air bila musim kemarau tiba, dan sebaliknya terjadi banjir dimana-mana bila musim hujan datang. Endemi demam berdarah dan flu burung yang terjadi di hampir seluruh wilayah juga selalu berulang dan akar permasalahannya belum juga terpecahkan. Kerugian yang diderita akibat musibah-musibah tersebut sudah tidak terhitung lagi jumlahnya; berapa nyawa yang melayang; berapa banyak harta benda milik masyarakat hilang; bahkan di Sidoarjo, bukan hanya nyawa dan harta, tetapi juga ”peradaban” masyarakat Sidoarjo lenyap ”ditelan” lumpur. Hal yang lebih mengenaskan dari semua peristiwa tersebut adalah tidak atau belum ada dari peristiwa tersebut yang teratasi secara tuntas; selalu menyisakan masalah.
Bila coba kita renungkan dan kaji secara seksama mengapa semua itu terjadi, dan mengapa semua permasalahan tersebut tidak teratasi secara tuntas, jawaban sementara penulis adalah karena kualitas sumber daya manusia (SDM) bangsa kita yang rendah. Hal ini sebagaimana juga ditunjukkan dari hasil survey Human Development Index (HDI) tahun 2005, yang berada pada posisi 112 dari 175 negara.
Pertanyaan selanjutnya, mengapa kualitas SDM kita rendah, karena mutu pendidikan kita rendah. Bicara mutu pendidikan, maka pendidikan formal di sekolah lah yang harus lebih banyak mendapat sorotan. Karena pendidikan di sekolah dilaksanakan secara terencana dan sistematis, sehingga seharusnya lebih banyak memberi kontribusi pada kualitas pendidikan. Itu artinya, kualitas pembelajaran yang terjadi di kelas-kelas sekolah kita selama ini rendah. Karena inti dari proses pendidikan di sekolah adalah pada pembelajaran di kelas. Pola pikir seperti inilah yang pernah dilontarkan oleh senator Amerika, John F. Kennedy pada tahun 1967, pada saat Amerika Serikat merasa kalah oleh Rusia yang lebih dulu meluncurkan roketnya ke luar angkasa. Saat itu Kennedy mengajukan pertanyaan ”Apa yang salah dengan pembelajaran kita di kelas?”

B. Mutu Pendidikan Kita
Rendahnya mutu sumber daya manusia bangsa kita diakibatkan oleh karena dunia pendidikan gagal melaksanakan perannya. Arief Rachman mengidentifikasi ada sembilan titik lemah pendidikan di Indonesia (Arief Rachman, 2006, 114) yang mengakibatkan dunia pendidikan kita “carut marut”. Kesembilan titik lemah tersebut adalah (1) selama ini keberhasilan pendidikan hanya diukur dari keunggulan ranah kognitif, dan mengabaikan ranah afektif dan psikomotorik, sehingga pembinaan dan pengembangan watak bangsa menjadi terabaikan, (2) model evaluasi yang digunakan selama ini hanya mengukur kemampuan berpikir konvergen, sehingga siswa tidak dipacu untuk berpikir kreatif dan imajinatif, (3) proses pendidikan berubah menjadi proses pengajaran, yang berakibat materi pelajaran menjadi tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari, (4) kemampuan menguasai materi tidak disertai dengan pembinaan kegemaran belajar. (5) titel atau gelar menjadi target pendidikan, tidak disertai dengan tanggung jawab ilmiah yang mumpuni, (6) materi pendidikan dan buku pelajaran ditulis dengan cara dan metode yang monoton, tidak menantang dan tidak menstimulasi daya kritis dan iamjinasi siswa (7) manajemen pendidikan yang menekankan pada tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan kepada pemerintah, bukan kepada stakeholder, (8) profesi guru yang terkesan menjadi profesi ilmiah dan kurang disertai dengan bobot profesi kemanusiaan, dan (9) upaya pemerataan pendidikan yang tidak didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai, serta lemahnya political will pemerintah terhadap upaya perbaikan pendidikan.
Dengan kondisi permasalahan sebagaimana diungkapkan oleh Arief Rahman, terutama dengan permasalahan nomor 1 – 4 yang secara langsung menyangkut proses pembelajaran, sangat wajar kalau proses pembelajaran yang terjadi di kelas tidak mampu menghasilkan orang-orang yang cerdas sebagaimana yang diamanatkan UUD ’45. Keberhasilan pembelajaran yang hanya diukur oleh penguasaan pengetahuan (kognitif) hanya akan mendorong proses pembelajaran menghasilkan orang-orang pintar, tetapi bisa jadi tidak punya hati nurani, egois, tidak mampu bekerja sama, dan sifat-sifat lain yang menyangkut afeksi. Sifat peduli terhadap kepentingan orang banyak, takut melakukan kecurangan karena akan merugikan orang lain, sopan santun terhadap orang yang lebih tua, kasih dan sayang terhadap yang lebih muda, semangat berkorban untuk kepentingan bersama, bersikap disiplin, adalah diantara sifat-sifat afeksi yang sulit diukur secara kuantitas dan hasilnya tidak dapat dilihat dengan segera. Karena itu pembelajaran yang mengembangkan sifat-sifat ini menjadi luput dari perhatian dalam pembelajaran. Padahal sifat-sifat ini terkait dengan kecerdasan emosi yang banyak berpengaruh pada kesuksesan seseorang dalam melaksanakan tugasnya di masyarakat dan dunia kerja. Belum lagi kalau dilihat tingkat penguasaan aspek kognitifnya yang dikembangkan. Apakah perkembangan kognitif yang dikembangkan sampai pada tahap kognitif yang lebih tinggi, seperti kemampuan mengaplikasi, menganalisis, mensistesis, mengevaluasi, bahkan membuat dan menemukan ilmu baru? Lebih penting lagi apakah perkembangan kognitifnya sampai pada tahap kemampuan merumuskan dan memecahkan masalah, terutama berkenaan dengan permasalahan kehidupan sehari-hari? Ini adalah satu permasalahan besar dengan pembelajaran di kelas kita.
Permasalahan kedua juga sangat besar dampaknya terhadap proses pembelajaran di kelas. Soedijarto, dalam penelitiannya menemukan bahwa sistem evaluasi ternyata mempengaruhi kualitas proses belajar, khususnya pada tingkat partisipasi belajar pada siswa. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh B.S. Bloom, yang menyatakan bahwa setiap siswa akan berusaha mempelajari apa yang diperkirakan akan ditanyakan pada saat dilaksanakan tes (Soedijarto, 1993: 81) Ini berarti, kalau bentuk evaluasi yang diberikan kepada siswa hanya pada penguasaan konsep dan fakta, maka siswa akan belajar dengan cara menghafal dan drilling menjawab soal. Bentuk evaluasi seperti itu tidak akan mendorong siswa untuk berpikir secara kritis, kreatif, dan menemukan jawaban yang berbeda.
Berkenaan dengan permasalahan yang ketiga, banyak bukti di sekitar kita, siswa-siswa kita yang telah lulus dari sekolah tidak mampu berbuat banyak di lingkungannya; Mereka menjadi terasing dengan lingkungannya. Karena apa yang mereka pelajari di bangku sekolah adalah apa yang ada dalam buku (textbook), bukan permasalahan lingkungan yang sehari-hari mereka temukan dan rasakan. Pembelajaran yang dilaksanakan lebih bersifat tekstual, dan tidak kontekstual, sehingga ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan hanya bisa disimpan dalam memori dan tidak bermanfaat bagi kehidupannya. Israel Scheffler menyebut pembelajaran yang demikian tidak memiliki relevansi sosial/moral.
Sejalan dengan permasalahan-permasalahan sebelumnya, pembelajaran di kelas-kelas sekolah kita cenderung hanya mendorong siswa untuk ”belajar untuk tahu” atau learning to know. Strategi pembelajaran yang mendorong siswa untuk senang untuk belajar dan menguasai kemampuan bagaimana belajar dilakukan (learning how to learn) tidak banyak dilakukan, sehingga pada saat mereka telah menempuh ujian dan dinyatakan lulus, maka mereka menganggap tugas belajar telah selesai; Mereka tidak memiliki kemauan dan kemampuan belajar mandiri untuk mengembangkan dirinya, baik di lingkungan masyarakat maupun di lingkungan dunia kerjanya.

C. Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM)
1. Apa itu PAKEM?
PAKEM atau Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan, pertama kali diperkenalkan menyertai program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang dikembangkan UNICEF-UNESCO-Pemerintah RI (Kompas, 8 Desemer 2003). PAKEM adalah pembelajaran yang membuat siswa aktif dan kreatif sehingga menjadi efektif tetapi tetap menyenangkan. Model ini dikembangkan untuk menciptakan situasi pembelajaran yang dialami para siswa lebih menggairahkan dan memotivasi siswa untuk melakukan kegiatan belajar secara aktif yang pada akhirnya mencapai hasil belajar yang optimal.
Pembelajaran aktif dimaksudkan bahwa proses pembelajaran tersebut menuntut siswa dan guru secara aktif melakukan tugas dan fungsinya masing-masing. Guru secara aktif merancang dan mengkondisikan siswanya untuk belajar, bahkan berupaya memfasilitasi kebutuhan siswa dalam melaksanakan kegiatan belajarnya. Sementara siswa aktif melakukan tugasnya sebagai pelajar untuk belajar. Bentuk aktifitas yang dilakukan siswa bukan hanya aktifitas fisik tetapi dan terutama aktifitas mental, karena inti dari kegiatan belajar adalah adanya aktifitas mental. Tanpa keterlibatan mental dalam suatu aktifitas yang dilakukan siswa maka tidak akan pernah terjadi proses belajar di dalam dirinya. Pembelajaran aktif ini merupakan respon terhadap pembelajaran yang selama ini bersifat pasif, dimana para siswa hanya menerima informasi dari gurunya melalui metode ceramah.
Pembelajaran yang kreatif dimaksudkan pembelajaran yang beragam, sehingga mampu mengakomodir gaya belajar dan tingkat kemampuan belajar siswa yang bervariasi. Disisi lain pembelajaran kreatif juga dapat diartikan sebagai pembelajaran yang mampu menstimulasi daya imajinasi siswa untuk menghasilkan sesuatu. Dalam pembelajaran kreatif, peran guru bukan sebagai penyampai informasi/materi yang sudah siap “dicerna” oleh siswa, tetapi lebih pada sebagai stimulator ide yang mendorong pikiran dan imajinasi siswa muncul dan terealisasi melalui kegiatan belajar. Pembelajaran kreatif juga diartikan sebagai pembelajaran yang mendorong para siswanya menjadi kreatif, yaitu lancar, luwes, dan orisinil.
Pembelajaran efektif adalah pembelajaran yang mampu “membawa” para siswanya menguasai kemampuan yang diharapkan di akhir proses pembelajaran. Keefektifan pembelajaran dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi guru yang melaksanakan pembelajaran, dan dari sisi siswa yang belajar. Dilihat dari sisi guru, pembelajaran dikatakan efektif apabila pembelajaran mampu menstimulasi aktifitas siswa secara optimal untuk melakukan kegiatan belajar dan seluruh atau sebagian besar aktifitas yang direncanakan dapat terlaksana. Sementara bila dilihat dari sisi siswa, pembelajaran dikatakan efektif apabila pembelajaran tersebut dapat mendorong siswa untuk melakukan berbagai kegiatan belajar secara aktif, dan di akhir pembelajaran para siswa mampu menguasai seluruh atau sebagai besar tujuan pembelajaran yang ditetapkan, dan penguasaan pengetahuan tersebut dapat bertahan dalam waktu yang relatif lama.
Melalui seluruh proses pembelajaran di atas, diharapkan pembelajaran yang dialami siswa menjadi menyenangkan. Pembelajaran yang menyenangkan tidak identik dengan pembelajaran yang gaduh, berisik, dan tidak terkendali. Pembelajaran yang menyenangkan adalah pembelajaran yang dilakukan oleh siswa secara sukarela, tanpa ada unsur paksaan dari luar; siswa melakukan aktifitasnya dengan hati yang senang dan tidak terkekan. Pembelajaran yang menyenangkan akan terjadi apabila situasi pembelajaran terbuka, demokratis, dan menantang. Para siswa memiliki kesempatan untuk melakukan berbagai aktifitas tanpa harus takut salah dan dimarahi oleh siapapun. Melalui pembelajaran yang menyenangkan, siswa akan dapat mencurahkan perhatiannya secara penuh pada belajar sehingga waktu curah perhatiannya (time on task) tinggi. Menurut berbagai hasil penelitian, tingginya time on task terbukti meningkatkan hasil belajar.
Untuk dapat mengenali pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan dapat mencermati ciri-cirinya sebagaimana dikemukakan oleh Lynne Hill, yaitu:
a. Pembelajaran tersebut direncanakan dengan baik, yang didasarkan pada hasil identifikasi tujuan dan kemampuan awal siswa, dan mencakup urutan pembelajaran, pengorganisasian kelas, pengelolaan sumber belajar, dan cara penilaian yang akan digunakan.
b. Pembelajaran tersebut menarik dan menantang yang ditandai oleh peran guru yang tidak terlalu dominan, sementara siswa aktif melakukan aktifitas belajar. Pembelajaran juga dapat meningkatkan motivasi belajar, meningkatkan kemampuan berpikir kritis, memecahkan masalah, termasuk tugas-tugas terbuka.
c. Siswa sebagai pusat pembelajaran, yang ditandai oleh adanya tuntutan agar siswa aktif terlibat, berpartisipasi, bekerja, berinteraksi antarsiswa, menemukan dan memecahkan masalah
(www.mbeproject.net/mbe511.html)
Dengan demikian secara garis besar, PAKEM dapat digambarkan sebagai berikut:
a. Siswa terlibat dalam berbagai kegiatan yang mengembangkan pemahaman dan kemampuan mereka dengan penekanan pada belajar melalui berbuat.
b. Guru menggunakan berbagai alat bantu dan berbagai cara dalam membangkitkan semangat, termasuk menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar untuk menjadikan pembelajaran menarik, menyenangkan, dan cocok bagi siswa.
c. Guru mengatur kelas dengan memajang buku-buku dan bahan belajar yang lebih menarik dan menyediakan ‘pojok baca’
d. Guru menerapkan cara mengajar yang lebih kooperatif dan interaktif, termasuk cara belajar kelompok.
e. Guru mendorong siswa untuk menemukan caranya sendiri dalam pemecahan suatu masalah, untuk mengungkapkan gagasannya, dan melibatkam siswa dalam menciptakan lingkungan sekolahnya (Depdiknas, 2005, 77)

2. Mengapa PAKEM?
Sebagai sebuah profesi yang professional, maka semua tindakan yang dilakukan guru harus didasarkan pada kerangka teori dan kerangka pikir yang jelas. Demikian juga dengan pilihan untuk memilih dan memanfaatkan pendekatan PAKEM, harus didasari pada suatu rasional mengapa kita memilih dan menggunakan pendekatan tersebut. Berkenaan dengan hal ini perlu dikemukakan sejumlah alasan dan dasar teoritik sekaligus landasan filosofis dikembangkannya pendekatan PAKEM.
Salah satu perkembangan teori pembelajaran yang mendasari munculnya pendekatan PAKEM adalah terjadinya pergeseran paradigma proses belajar mengajar, yaitu dari konsep pengajaran menjadi pembelajaran yang berimplikasi kepada peran yang harus dilakukan guru yang tadinya mengajar menjadi membelajarkan. Konsep pembelajaran yang merupakan terjemahan dari kata instructional pada dasarnya telah lama dikenal di Indonesia, yaitu sejak tahun 1975, yang tergambar dalam rumusan tujuan yang harus dibuat guru, yaitu rumusan tujuan instruksional khusus. Namun implementasi dari konsep pembelajaran di dalam kelas belum juga terjadi secara sesungguhnya.
Dalam konsep pengajaran peran yang paling dominan ada pada guru, yaitu sebagai pengajar yang melaksanakan tugasnya mengajar. Dalam kegiatan pengajaran komunikasi sering terjadi hanya satu arah, yaitu dari guru kepada siswa, sehingga siswa lebih banyak pasif. Pada saat guru menyampaikan materi pelajaran, yang biasanya dilakukan melalui ceramah, para siswa hanya menerima apa yang disampaikan oleh guru. Permasalahannya yang paling mendasar adalah pada saat seorang guru mengajar apakah ada jaminan bahwa para siswanya belajar? (Belajar dalam pengertian sebagaimana dikemukakan oleh para penganut aliran kognitivistik, yaitu adanya aktifitas mental dalam berinteraksi dengan lingkungannya yang menghasilkan perubahan perilaku yang relatif konstan.) Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah apa yang disampaikan oleh Mel Silberman: Belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi ke dalam kepala seorang peserta didik. Belajar memerlukan keterlibatan mental dan tindakan pelajar itu sendiri. (Mel Silberman, 1996)
Berbeda dengan konsep pengajaran, konsep pembelajaran lebih mengutamakan pada aktifitas siswa dalam melakukan kegiatan belajarnya. Dalam konsep pembelajaran tugas guru adalah membelajarkan siswa. Artinya berbagai upaya yang dilakukan guru dalam rangka mengkondisikan para siswanya untuk belajar. Dengan demikian, fokus dari interaksi dan komunikasi ”di dalam kelas” ada pada siswa, yaitu melakukan aktifitas belajar. Melalui penerapan konsep pembelajaran ini maka siswa akan menjadi aktif melakukan berbagai aktifitas belajar, yang tidak hanya mendengarkan, tetapi mereka harus terlibat secara aktif mencari, menemukan, mendiskusikan, merumuskan, dan melaporkan hasil belajarnya. Melalui proses seperti ini maka kegiatan belajar anak akan menjadi lebih bermakna (meaningfull learning).
Bila dilihat dari pendekatannya, dapat dikatakan bahwa konsep pengajaran menggunakan pendekatan yang berorientasi pada guru, sedangkan konsep pembelajaran menggunakan pendekatan yang berorientasi pada siswa. Perbedaan karakteristik dari kedua pendekatan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Berpusat Pada Guru Berpusat Pada Siswa
 Lebih tradisional
 Guru sebagai pengajar
 Guru menentukan apa yang mau diajarkan dan bagaimana mengajarkannya  Guru sebagai fasilitator bukan penceramah
 Fokus pembelajaran pada siswa bukan guru
 Siswa aktif belajar
 Siswa mengontrol proses belajar dan menghasilkan hasil karya mereka sendiri, tdk mengutip dari guru.

Di samping didasarkan pada upaya optimalisasi implimentasi konsep pembelajaran, pendekatan PAKEM juga didasarkan pada sejumlah asumsi tentang apa itu belajar. Sejumlah asumsi tentang belajar yang dimaksud, diantaranya:

a. Belajar adalah proses individual
Artinya kegiatan belajar tidak bisa diwakilkan kepada orang lain, hanya orang yang bersangkutanlah yang dapat melakukannya. Ini berarti kegiatan belajar menuntut aktifitas orang yang sedang belajar.
b. Belajar adalah proses sosial
Kegiatan belajar harus dilakukan melalui interaksi sosial dengan lingkungan sekitar. Ini berarti seseorang yang belajar harus secara aktif berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, karena melalui interaksi sosial inilah akan diperoleh pengalaman sebagai hasil belajar.
c. Belajar adalah menyenangkan
Apabila kegiatan belajar dilakukan dengan sukarela, atas kesadaran dan kemauan sendiri, dan tanpa ada paksaan, maka kegiatan belajar akan menyenangkan. Karena itulah, setiap orang yang belajar harus melakukannya dengan penuh kesadaran bahwa belajar itu yang akan membawa manfaat bagi kelangsungan hidupnya. Dengan demikian maka kegiatan belajar benar-benar akan menyenangkan.
d. Belajar adalah aktifitas yang tidak pernah berhenti
Proses belajar akan terus berlangsung selama manusia berinteraksi dengan lingkungannya. Pada saat seseorang berinteraksi dengan lingkungan – apakah itu disadari ataupun tidak – dan terjadi perubahan perilaku dalam dirinya (kognitif, afektif, atau psikomotorik) maka pada dasarkan orang tersebut telah belajar. Proses ini tidak akan pernah berhenti selama seseorang masih hidup dan beraktifitas.
e. Belajar adalah membangun makna
Pada saat seseorang melakukan kegiatan belajar, pada hakikatnya ia menangkap dan membangun makna dari apa yang diamatinya. Hal ini sejalan dengan pembelajaran kontekstual (contextual learning) yang mengasumsikan bahwa otak secara alamiah mencari makna dari suatu permasalahan yang berkaitan dengan lingkungan dimana seseorang tersebut berinteraksi (http://www.texascollaborative.org)
Di samping pada pertimbangan perkembangan teori belajar dan pembelajaran, pentingnya PAKEM didasarkan pada pemahaman dan kepentingan siswa sebagai pembelajar. Disadari bahwa para siswa yang belajar adalah individu-individu yang memiliki potensi dan kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Karenanya, mereka harus diberi kesempatan untuk memikirkan segala sesuatu yang terjadi dalam lingkungannya; guru hendaknya menstimulasi daya pikir mereka dengan mengajukan sejumlah pertanyaan dan permasalahan yang harus dipecahkan (problem solving). Melalui penciptaan kondisi yang menantang dan pemberian kebebasan yang luas kepada siswa untuk beraktifitas, memungkinkan siswa menganalisis permasalah secara kritis, dan mencari pemecahannya secara kreatif. Sebab kreatifitas akan muncul dalam suasana dan lingkungan yang menantang namun dirasa aman, dan tidak takut akan mendapat hukuman apabila terjadi kesalahan. Proses belajar yang dialami siswa juga harus melatih dan meningkatkan kematangan emosional dan sosialnya. Pada akhirnya seluruh proses belajar yang dilakukan siswa akan membawanya pada peningkatan produktivitas menjadi lebih tinggi. Untuk menciptakan proses pembelajaran yang akan membawa siswa pada peningkatan berbagai kemampuan tersebut diperlukan suasana dan pengalaman belajar yang bervariasi.
Dengan kata lain, proses belajar yang dialami siswa harus mendorong dan mengembangkan dirinya menjadi orang-orang yang mampu berpikir kritis, kreatif, mampu memecahkan masalah, memiliki kematangan emosional/sosial, dan memiliki produktivitas yang tinggi dengan menciptakan proses pembelajaran yang bervariasi.

3. Bagaimana PAKEM dilaksanakan?
Dalam penerapannya, model PAKEM memerlukan lingkungan belajar yang kondusif, yang mendukung berbagai aktifitas siswa dalam melakukan proses belajar. Karena melalui penerapan PAKEM diharapkan akan terlihat siswa aktif mengeksplorasi materi melalui berbagai percobaan, melakukan observasi, diskusi kelompok, melakukan latihan-latihan praktis, memanfaatkan perpustakaan dan sudut-sudut kelas untuk pojok baca dan dinding kelas untuk memajang karya siswa (www.mbeproject.net/Apa itu.htm)

Hal yang harus dilakukan dalam melaksanakan PAKEM adalah:
a. Memahami sifat yang dimiliki anak
Setiap anak unik. Mereka memiliki karakteristik yang berbeda. Namun pada dasarnya mereka juga memiliki sifat umum yang sama, yaitu memiliki rasa ingin tahu dan daya imajinasi. Kedua sifat ini merupakan modal dasar untuk mengembangkan sikap/berpikir kritis dan kreatif. Karena itu, pembelajaran diharapkan dapat menjadi wahana dan sarana mengembangkan kedua potensi tersebut. Suasana pembelajaran yang kondusif perlu dikembangkan melalui, diantaranya, pujian terhadap karya anak, mengajukan pertanyaan terbuka dan menantang, memotivasi siswa untuk berani melakukan percobaan, dan lain-lain.
b. Mengenal anak secara perorangan
Para siswa memiliki latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya yang bervariasi dan memiliki kemampuan yang berbeda. Dengan PAKEM diharapkan perbedaan tersebut dapat terakomodir, sehingga pembelajaran yang dialami anak yang satu berbeda dengan yang lainnya sesuai dengan kecepatan belajarnya masing-masing. Siswa yang memiliki kecepatan belajar yang lebih dapat membantu temannya sebagai tutor sebaya.
c. Memanfaatkan perilaku anak dalam pengorganisasian belajar
Ciri lain yang dimiliki anak-anak adalah kesenangannya untuk bermain, berteman secara berkelompok. Kondisi ini dapat dimanfaatkan untuk menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan. Siswa dapat dikondisikan untuk melakukan kegiatan belajarnya melalui kegiatan bermain dan berkelompok. Melalui kegiatan bermain dan berkelompok siswa akan dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik, karena ia melakukannya dengan penuh kesenangan dan mereka mudah untuk berinteraksi dan bertukar pikiran.
d. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan kemampuan memecahkan masalah
Salah satu fungsi pembelajaran adalah menyiapkan peserta didik untuk siap terjun ke masyarakat dengan berbagai permasalahannya. Mereka harus mampu menghadapi dan memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Untuk itu diperlukan kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Kritis untuk menyadari, mengenali, menganalisis, dan merumuskan masalah, dan kreatif dalam menemukan dan mengembangkan alternatif pemecahannya. Pembelajaran diharapkan dapat mengembangkan kedua kemampuan tersebut dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan terbuka dan menantang, bahkan pertanyaan yang tidak ”lumrah”. Pertanyakan kembali cara kerja yang biasa kita lakukan, benda-benda di sekitar kita, dan hal-hal lain yang sudah biasa terjadi. Namun untuk sementara, pertanyaan diarahkan pada aspek teknologis (alat dan cara kerja), seni dan artifisial budaya, dan jangan pada hal-hal yang bersifat melawan norma hukum, agama, dan kesusilaan. Kemudian ajak para siswa untuk memikirkannya dan membuat perubahan terhadap hal-hal yang dipertanyakan tersebut ”agar tampil beda”. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menambah, mengurangi, menggabungkan, memperkecil, memperbesar, dst.
e. Mengembangkan ruangan kelas sebagai lingkungan belajar yang menarik
Ruang kelas sebagai lingkungan belajar merupakan salah satu sumber belajar. Karenanya, ruang kelas harus ditata sedemikian rupa agar dapat mendukung terjadinya proses belajar yang dilakukan siswa. Ruang kelas yang menarik merupakan hal yang disarankan dalam PAKEM. Pada dinding ruang kelas dapat dipasang ”ikon-ikon” dan motto yang dapat memotivasi siswa belajar. Hasil karya siswa sebaiknya dipajangkan di dinding ruang kelas dengan tata letak yang baik dan harmonis. Karena pemajangan hasil karya ini dapat memotivasi siswa dan sekaligus dapat menjadi inspirasi untuk mengembangkan karya lain yang lebih baik.
f. Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar
Setting atau lingkungan (alam, sosial, dan budaya) merupakan salah satu sumber belajar yang sangat kaya dengan bahan belajar. Lingkungan dapat dijadikan sebagai media belajar dan sekaligus sebagai obyek belajar. Sebagai media belajar, lingkungan dapat membantu para siswa memahami bahan belajar lebih mudah dan menarik, sedangkan sebagai obyek belajar, lingkungan mengandung banyak hal yang dapat dipelajari dan berarti bagi kehidupan siswa.
g. Memberikan umpan balik yang baik untuk meningkatkan kegiatan belajar
Umpan balik yang disampaikan guru dapat memberi informasi tentang kualitas belajar yang dilakukan siswa. Umpan balik yang positif dapat menimbulkan motivasi siswa untuk mempertahankan dan sekaligus meningkatkan perilaku positifnya; mendorong siswa untuk lebih percaya diri dalam menghadapi tugas-tugas berikutnya. Untuk itu, guru harus konsisten memeriksa setiap tugas dan pekerjaan siswa, memberi komentar dan catatan, serta mengembalikannya kepada siswa.
h. Membedakan aktif fisik dengan aktif mental

Kata ”aktif” dalam model PAKEM, bukan semata-mata merujuk pada keaktifan fisik, tetapi pada keaktifan mental. Aktif mental lebih diutamakan daripada aktif fisik. Kondisi siswa yang sering bertanya dan mempertanyakan gagasan orang lain, dan mengungkapkan gagasannya sendiri merupakan tanda-tanda aktif mental. Syarat untuk tumbuhnya aktif mental adalah tumbuhnya perasaan tidak takut: takut ditertawakan, takut salah, takut dihukum, takut disepelekan, takut disebut orang bodoh, takut mencoba, dan takut-takut yang lainnya. Untuk itu tugas guru adalah menciptakan kondisi dan suasana yang dapat menghilangkan rasa takut, serta mendorong untuk tumbuhnya keberanian siswa.

Untuk dapat melaksanakan pembelajaran dengan model PAKEM, ada sejumlah kemampuan yang harus dikuasai dan sekaligus dilakukan guru, diantaranya: (Depdiknas, 2005, 78)
a. Guru harus merancang dan mengelola pembelajarannya yang mampu mendorong siswa berperan aktif di dalamnya. Untuk itu guru harus mampu melaksanakan pembelajaran secara variatif, seperti mengkondisikan siswa untuk melakukan percobaan, diskusi kelompok, mencari informasi, berkunjung ke suatu tempat, dan melaporkan hasil observasi.
b. Guru harus menggunakan alat bantu dan sumber belajar yang beragam (multi media). Hal ini akan membantu terciptanya interaksi yang bervariasi, bukan hanya antara guru dengan siswa, tetapi juga antara siswa dengan siswa, dan antara siswa dengan lingkungannya. Untuk itu sesuai dengan mata pelajaran yang akan diajarkan, guru dapat menggunakan alat dan benda sekitar, atau media lain yang dibuat sendiri atau dari membeli.
c. Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan keterampilannya. Untuk itu guru dapat membantu siswa untuk melakukan percobaan dan pengamatan atau wawancara, mengumpulkan fakta dan data serta mengolah dan mengambil kesimpulan; membantu memecahkan masalah, mencari dan menemukan rumus, menulis laporan/hasil karya dengan bahasa sendiri.
d. Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasannya sendiri secara lisan dan tulisan. Kesempatan ini penting untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan berani berpendapat. Kondisi ini dapat diciptakan melalui kegiatan diskusi, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan terbuka.
e. Guru menyesuaikan bahan dan kegiatan belajar dengan kemampuan siswa. Siswa akan termotivasi untuk belajar apabila tugas dan aktivitas yang harus dilakukannya ada pada batas kemampuannya. Bahan dan kegiatan belajar yang berada di atas kemampuannya atau terlalu sulit hanya akan membawa siswa frustasi, dan sebaliknya. Untuk itu siswa dapat dikelompokkan sesuai dengan kemampuannya, dan bahan pelajaran dikelompokkan sesuai dengan kelompok tersebut.
f. Guru mengaitkan pembelajaran dengan pengalaman siswa sehari-hari. Bahan belajar akan lebih bermakna apabila bahan tersebut memang menyangkut kehidupan dan permasalahan yang dihadapi siswa sehari-hari. Untuk itu guru dapat meminta siswa untuk menceritakan dan memanfaatkan pengalamannya sendiri sebagai topik pembicaraan dalam pembelajaran.
g. Menilai pembelajaran dan kemajuan belajar siswa secara terus menerus. Kegiatan ini digunakan untuk memantau kinerja siswa dan sekaligus memberikan umpan balik.
Sebagai contoh konkrit bagaimana PAKEM dilaksanakan dapat digambarkan berikut:
Untuk sebuah pembelajaran Ilmu Sosial ditetapkan sebuah tema Banjir. Mengapa tema banjir yang diangkat? Karena isu itu yang sedang hangat dan banyak diberitakan terjadi di mana-mana.
Dalam melaksanakan pembelajaran tersebut, guru memberikan pengantar tentang banjir. Kemudian guru meminta siswa bekerja kelompok. Masing-masing kelompok diberikan 2 buah kliping koran tentang banjir. Tiap kelompok membaca, mencerna, dan mencatat informasi dari kliping, kemudian mempresentasikan. Terakhir antar kelompok compare notes. Siswa diminta menyimpulkan.

D. Peningkatan Mutu Pendidikan Formal Melalui PAKEM
Dengan asumsi bahwa proses pembelajaran yang terjadi di kelas adalah inti dari proses pendidikan di sekolah, maka perbaikan mutu pendidikan harus dimulai dengan menata dan meningkatakan mutu pembelajaran di kelas. Mutu pendidikan yang diindikasikan oleh para lulusannya memiliki kemampuan berpikir kritis dan kreatif, perkembangan afeksi yang kuat (karakter, kesadaran diri, komitmen, dll), serta keterampilan psikomotor yang memadai. Artinya kriteria mutu pendidikan bukan hanya diukur oleh aspek kuantitatif, seperti NEM, nilai raport, banyaknya lulusan yang diterima di perguruan tinggi negeri, dan sebagainya, tetapi lebih pada aspek penguatan karakter dan watak siswa, keimanan kepada Tuhan, sopan santun, akhlak mulia, budi pekerti luhur, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan menghasilkan karya dan produk inovatif, dan lain-lain.
Upaya untuk mencapai mutu pendidikan dengan kriteria sebagaimana digambarkan di atas tentu akan sulit dilakukan apabila pembelajaran yang dilakukan di kelas masih konvensional, yang hanya menuntut siswa untuk melakukan DDCH (datang, duduk, catat, dan hafal); Model pembelajaran yang didominasi oleh guru melalui ceramah-ceramahnya menyampaikan sejumlah informasi/materi pelajaran yang sudah disusun secara sistematis. Sebab pembelajaran dengan model ini tingkat partisipasi siswa sangat rendah; siswa sering ada dalam situasi ”tertekan”, yang berakibat pada tidak optimalnya pemusatan perhatian pada kemampuan yang harus dikuasainya (time on task) menjadi rendah. Siswa tidak mendapat kesempatan untuk melakukan eksplorasi lingkungan sekitar, sehingga membuat mereka terasing dengan lingkungannya dan tidak memiliki kemampuan untuk mencari dan menemukan informasi yang diperlukannya; dan yang paling penting siswa hanya terfokus pada pengembangan ranah kognitif, dan kurang memperhatikan aspek afeksi (emosional, mental, dan spiritual), serta keterampilannya. Dengan kondisi pembelajaran seperti ini akan sulit mengharapkan para siswa memiliki kemampuan berpikir yang kritis, kreatif, dan inovatif, serta memiliki karakter dan watak yang kuat untuk menghadapi berbagai permasalahan yang dihadapi dalam kehidupannya sehari-hari.
Ada banyak inovasi pembelajaran yang dapat diterapkan untuk mendorong terciptanya pembelajaran yang berkualitas yang berangkat dari pendekatan pembelajaran student active learning, diantaranya adalah apa yang disebut PAKEM. Dengan PAKEM para siswa akan mengikuti pembelajaran secara aktif, kreatif, dan demokratis; Siswa diberi kesempatan untuk berbuat dan berpikir secara bertanggung jawab; Siswa memiliki kesempatan untuk melakukan proses belajar yang sesungguhnya, dimana siswa berinteraksi langsung dengan lingkungannya; Siswa belajar bekerjasama untuk memecahkan masalah, sehingga akan terbentuk watak dan kemampuan bekerja tim; Siswa diberi kesempatan untuk melakukan eksplorasi lingkungannya yang memungkinkan tumbuhnya kesadaran akan pentingnya lingkungan dan kemampuan untuk mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan; Akan tumbuh semangat dan kepercayaan diri untuk berpikir dan berbuat pada diri siswa.

E. Kesimpulan
Peningkatan kualitas sumber daya manusia haruslah menjadi prioritas dalam pembangunan nasional kita. Itu berarti pembangunan dunia pendidikan harus mendapatkan perhatian yang serius, komitmen yang kuat dan tindakan nyata dari seluruh stakeholder. Pembangunan dunia pendidikan memang harus dilakukan secara sistemik, melalui pembenahan berbagai sektor yang terkait. Khusus untuk pembangunan pendidikan formal (sekolah), semua perbaikan yang dilakukan harus mengarah dan mendukung pada peningkatan kualitas proses pembelajaran yang dilakukan di ”kelas”. Karena inti dari proses pendidikan di sekolah ada pada proses pembelajaran.
Kualitas proses pembelajaran sangat dipengaruhi oleh kualitas interaksi antara siswa dengan sumber belajar. Artinya kualitas pembelajaran dikatakan baik apabila para siswanya secara aktif melakukan berbagai kegiatan untuk mengembangkan dirinya secara utuh (kognitif, afektif, dan psikomotorik) melalui interaksinya dengan berbagai sumber belajar. Untuk dapat terjadi seperti itu perlu diciptakan lingkungan dan suasana belajar yang mendukung, yaitu lingkungan yang mendorong anak untuk melakukan eksplorasi pada lingkungannya; memberi kesempatan kepada siswa untuk berpikir secara divergen, kritis, kreatif, dan inovatif; dan melatih anak untuk bekerja secara kooperatif dan kolaboratif; Salah satu model pembelajaran yang mampu mendorong itu semua adalah apa yang disebut PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan).
Demikian beberapa pokok pikiran yang dapat penulis sampaikan. Mudah-mudahan ada manfaatnya, dan mohon maaf atas segala kekurangan. Terima kasih.

DAFTAR RUJUKAN

Achmad Sapari. Pendidikan dan Sensitivitas Guru yang Kreatif. Kompas, Senin, 8 Desember 2003
Ditjen Dikdasmen Depdiknas. Paket Pelatihan untuk Sekolah dan Masyarakat. Jakarta, 2005
Ditjen Dikdasmen Depdiknas. Paket Pelatihan Lanjutan untuk Sekolah dan Masyarakat. Jakarta, 2005
http://www.texascollaborative.org./what is Contextual Teaching and Learning.html
Irsyad Ridho (Editor). Pendidikan, Proyek Peradaban yang Terbengkalai. Jakarta: Transbook, 2006
Silberman, Mel. Active Learning: 101 Strategies to Teach Any Subject. (Terj. H. Sardjuli, dkk). Boston: Allyn and Bacon, 1996
Soedijarto. Menuju Pendidikan Nasional yang Relevan dan Bermutu. Jakarta: Balai Pustaka, 1993
———–. Pendidikan Nasional sebagai Wahana Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara Bangsa. Jakarta: CINAPS, 2000
www.mbeproject.net/mbe511.html

Tidak ada komentar: